All About Mud Crab
EKOFISIOLOGI
ORGANISME LAUT
[Ekofisiologi Kepiting Bakau (Scylla
serrata)]
Oleh ;
Muhammad Fajar Purnama *)
A. Pendahuluan
Kepiting
Bakau (Scyla serrata) adalah salah satu jenis biota yang sumberdaya alamiahnya
sebenarnya sangat luas mengingat habitatnya meliputi seluruh wilayah hutan
bakau dan daerah estuaria. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri
dari lebih 17 000 pulau itu, mempunyai panjang pantai 81 000. Km, semua
merupakan wilayah estuaria, dengan hutan bakau yang luasnya 4,2 juta ha. tersebar
di seluruh kepulauan Nusantara. Hutan bakau merupakan habitat asli dari kepiting
bakau (Kanna, 2002).
Kepiting bakau (S.
serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di daerah mangrove
memiliki nilai ekonomis tinggi. Dan merupakan spesies yang khas di kawasan
hutan bakau (mangrove) dan hidup di
daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove
dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Di Indonesia banyak sekali
jenis kepiting yang tersebar, mulai dari lingkungan air tawar, laut hingga
daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan, tetap ada tempat-tempat
yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap kepiting mempunyai
tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya, Pada
umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan bakau. Berbagai jenis
kepiting dapat dijumpai di perairan Indonesia. Diperkirakan terdapat 2500 jenis
spesies di Indonesia dari total 4500 spesies yang terdapat di seluruh dunia.
Namun tak semuanya bisa dikonsumsi. Ada empat jenis kepiting yang umumnya
dikonsumsi. Mereka adalah S. serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama
runcing), S. tranquebarica (duri di
sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), S.
paramamosain (duri di dahi runcing tapi di siku lunak), S. olilvacea (duri di dahi dan sikutnya
sama-sama lunak). Menurut Nontji (1993), S. serrata merupakan jenis kepiting yang
paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal (Kanna, 2002).
Kepiting
bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut,
kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan
berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau membesarkan diri.
Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau
dan tambak, setelah perkawinan berlangsung, kepiting betina yang telah
melakukan perkawinan secara pelan-pelan akan beruaya keperairan bakau, tambak,
ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan.
Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada
diperairan bakau, di tambak, di sela-sela bakau, atau paling jauh di sekitar
perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme
makanannya berlimpah (Kanna, 2002).
Kepiting
bakau yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang
kondisinya cocok untuk melakukan tempat pemijahan, khususnya terhadap suhu dan
salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (zoea I)
yang terus menerus berganti kulit sampai sebanyak 5 (lima) kali sambil terbawa
arus keperairan pantai (sampai zoea V). Kemudian, kepiting tersebut berganti
kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting
dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa
ini, kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai.
Kemudian, pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk
kembali melangsungkan perkawinan (Kanna, 2002).
Menurut Boer (1993) kepiting bakau yang telah beruaya ke perairan laut akan
berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan
pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut . setelah telur
menetas , maka masuk pada stadia larva, dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus
menerus berganti kulit sebanyak 5 (lima) kali, sambil terbawa arus ke perairan
pantai sampai pada zoea 5 (lima). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit
lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa,
tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini,
kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai.
Kemudian pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk
kembali melangsungkan perkawinan.
Ciri-ciri masing-masing siklus :
1.
Larva Zoea, pada tahap
zoea, berlangsung proses pergantian kulit (moulting)
selama 3-4 hari. Pada stadium ini larva akan sangat peka terhadap perubahan
lingkungan terutama kadar garam dan suhu air.
2.
Fase Megalopa, pada fase
ini larva masih mengalami proses moulting namun relatif lebih lama yaiu sekitar
15 hari. Setiap moulting tubuh kepiting akan mengalami pertambahan besar
sekitar 1/3 kali ukuran semula.
3.
Kepiting muda, pada fase
ini tubuh kepiting masih dapat terus membesar.
4.
Kepiting dewasa, pada
stadium ini selain masih mengalami perbesaran tubuh, karapaks juga bertambah
lebar sekitar 5-10 mm. Kepiting dewasa berumur 15 bulan dapat memiliki lebar
karapaks sebesar 17 cm dan berat 200 gr.
Bila kondisi ekologi mendukung, kepiting dapat bertahan
hidup hingga mencapi umur 3 - 4 tahun. Sementara itu pada umur 12 - 14 bulan
kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting
bisa menghasilkan jutaan telur tergantung ukuran induk. Di alam bebas, jumlah
larva yang mampu menjadi kepiting muda sangat kecil karena antara lain faktor
lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya musuh alami.Sekali melakukan
pemijahan kepiting betina mampu menyimpan sperma jantan dan dapat melakukan
pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan lagi. Telur kepiting yang telah
dibuahi akan menetas menjadi zoea, megalops dan kepiting muda yang akhirnya
menjadi kepiting dewasa. Selama masa pertumbuhan, kepiting menjadi dewasa akan
mengalami pergantian kulit antara 17 - 20 kali tergantung kondisi lingkungan
dan pakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan.
Proses moulting (pergantian kulit) pada zoea berlangsung lebih cepat yaitu
sekitar 3-4 hari, sedangkan pada fase megalops, proses dan interval pergantian
kulit berlangsung relatif lama yaitu setiap 15 hari. Setiap moulting, tubuh
kepiting akan bertambah besar sekitar 1/3 kali ukuran semula dan panjang carapace
meningkat 5-10 mm pada kepiting dewasa. Kepiting dewasa berumur 12 bulan
memiliki lebar carapace 17 cm dan beratnya sekitar 200 gr (Anonim, 2010). Kepiting bakau muda pertumbuhannya lebih cepat dari pada kepiting
yang berumur tua. Korelasinya terhadap konsumsi pakan bahwa kepiting pada fase
muda frekuensi ganti kulitnya cukup besar dan seiring bertambahnya ukuran dan
frekuensi ganti kulit dan jumlah pakan yang di butuhkannya berkurang. Proses
pergantian kulit pada kepiting di mulai dengan penyerapan zat-zat kapur pada
kulit kerasnya, tumbuh dengan kulit yang baru yang sangat lembek berusaha
mendesak karapaks kearah belakang (Sulaiman, 1994).
Kepiting betina yang telah berpindah ke perairan laut
akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakuan
pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur
menetas maka muncul larva tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit,
sambil terbawa arus perairan pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti
kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting
dewasa kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang (Toro,1992). Berikut
adalah gambar siklus hidup kepiting bakau (Scylla
spp),
Gambar 1. Siklus
hidup kepiting bakau (Kanna, 2002)
Kepiting bakau merupakan salah satu
komoditas perikanan yang hidup diperairan pantai, khususnya, dihutan-hutan
bakau (Mangrove) (Kanna, 2002).
Menurut Kasry (1996) habitat kepiting bakau beraneka ragam, mulai dari perairan
laut dalam sampai ke pantai dangkal dan mulai daerah pasang surut sampai
ketepian aliran air tawar, Nybakken (1992) mengemukakan bahwa pada umumnya
kepiting bakau dijumpai didaerah estuary yang didominasi substrat berlumpur. Kepiting
bakau banyak dijumpai hidup ditepi pantai yang tanahnya agak berlumpur dan
banyak ditumbuhi pohon bakau dan ada pula yang senang hidup diantara akar
tumbuhan air dan menyukai lubang (Afrianto dan
Liviawaty, 1993).
Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla
serrata F)
Menurut La
Sara (1994), kepiting bakau banyak dijumpai di daerah sekitar hutan Bakau (mangrove) dan organisme ini merupakan
organisme khas perairan estuaria. Kepiting bakau termasuk organisme bentik yang
lebih menyenangi habitat dengan intensitas matahari yang rendah, terutama fase
juvenil dan dewasa yang mampu memilih habitat keruh tetapi makanan alami cukup
tersedia. Siklus hidup kepiting bakau sebagian besar berlangsung di
laut, di perairan bakau atau payau dan estuary. Kepiting bakau yang telah dewasa
cenderung bermigrasi ke laut untuk memijah. kepiting bakau dalam kehidupannya
akan beruaya menuju kelaut untuk memijah dan setelah itu induk dan anak-anaknya
akan kembali keperairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau
sebagai tempat untuk berlindung (Kasry, 1991).
Kepiting
bakau jantan dan betina dapat dibedakan dengan mengamati alat kelamin yang
terdapat dibagian perut. Pada bagian perut jantan umumnya terdapat organ
kelamin berbentuk segi tiga yang sempit dan dapat meruncing di bagian depan.
Organ kelamin betina berbentuk segitiga yang relatif lebar dan di bagian depan
agak tumpul. Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh ruas abdomennya. Ruas
abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina
berbentuk agak membulat dan lebih lebar. Dan perkawinan terjadi di saat suhu
air mulai naik,biasanya betina akan mengeluarkan cairan kimiawi perangsang, yaitu
pheromone kedalam air untuk menarik
perhatian kepiting jantan, setela jantan berhasil terpikat maka kepiting jantan
akan naik ke atas karapas kepiting betina untuk berganti kulit (molting), selama kepiting betina molting
maka kepiting jantan akan melindungi kepiting betina selama 2-4 hari sampai
cangkang terlepas, kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk
melakukan kopulasi/perkawinan (Kanna, 2002).
Gambar 3. Bagian Proses Kopulasi
Kepiting (foto: Aldrianto, 1994)
biasanya,
kopulasi berlangsung 7-12 jam dan hanya akan terjadi jika karapas kepiting
betina dalam ke adan lunak. spermatofor kepiting jantan akan di simpan di dalam
supermateka kepiting betina sampai telur siap di buahi. telur di dalam tubuh
kepiting betina yang suda matang akan turun ke oviduk dan akan di buahi oleh
sperma. proses pemijahan kepiting bakau tidak halnya seperti udang yang hanya
terjadi pada malam hari (kondisi gelap).
kepiting bakau juga dapat melakukan perkawinan/pemijahan pada siang hari
(Kasry, 1996).
Pencernaan
adalah proses penyederhanaan makanan melaului cara fisik dan kimia, sehingga
menjadi sari-sari makanan yang mudah diserap di dalam usus, kemudian diedarkan
ke seluruh organ tubuh melalui sistem peredaran darah Jenis pakan yang di
konsumsi kepiting bakau dapat berupah artemia, ikan rucah, daging
kerang-kerangan, hancuran daging siput, dan lumut. pemberian pakan tergantung
pada ukuran kepiting bakau,bila masih larva biasanya Brachionus plicatilis, Tetracelmis
chuii dan naupli artemia. Kepiting
bakau juga bersifat kanibalisme biasanya
dia akan menyarang kepiting lain yang sedang dalam kondisih lemah atau ganti
kulit (molting). Alat pencernaan
terbagi menjadi tiga, tembolok, lambung otot,lambung kelenjar. didalam perut
kepiting terdapat gigi kalsium yang teratur berderet secara longitudinal,selain
gigi kalsium juga. terdapat gastrolik yang berfungsi mengeraskan rangka luar (eksoskeleton) setelah terjadi eksdisis
(penegelupasan kulit). Urutan pencernaan makanannya dimulai dari mulut,
kerongkongan (esofagus), lambung (ventrikulus), usus dan anus. Hati (hepar) terletak di dekat lambung.
Sisa-sisa metabolisme tubuh diekskresikan lewat kelenjar hijau (Kanna, 2002). Pernafasan
: pertukaran CO2 (sisa-sisa proses metabolisme tubuh yg harus dibuang) dengan
O2 (berasal dari perairan, dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme dsb).
Kepiting bakau bernapas umumnya dengan insang, kecuali yang bertubuh sangat
kecil dengan seluruh permukaan tubuhnya dan memiliki sebuah jantung untuk
memompa darah. Mekanisme pernafasan : Pertukaran gas CO2 dan O2 terjadi secara
difusi ketika air dari kepiting yang masuk melalui mulut, terdorong ke arah
daerah insang. O2 yang banyak dikandung di dalam air akan diikat oleh
hemosianin, sedangkan CO2 yang dikandung di dalam darah akan dikeluarkan ke
perairan. Darah yang sudah banyak mengandung O2 kemudian diedarkan kembali ke
seluruh organ tubuh dan seterusnya (Kanna, 2002). Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebutuhan O2 pada kepiting bakau :
§ Ukuran dan umur (standia hidup)
§ Aktivitas kepiting
bakau
§ Jenis kelamin
§ Stadia reproduksi
System
saraf dan hormon Kedua sistem ini dapat dikatakan sebagai sistem koordinasi
untuk mengantisipasi perubahan kondisi lingkungan dan perubahan status
kehidupan (reproduksi). Perubahan
lingkungan akan diinformasikan ke sistem saraf (saraf pusat), saraf akan merangsang kelenjar endokrin agar hormon
dikirim ketempat yang di tuju untuk mengeluarkan hormon-hormon yang dibutuhkan
agar merangsang organ yang teleh di tentukan dan aktivitas metabolisme jaringan-jaringan.
Sistem saraf terdiri dari system saraf tangga tali pada system sarafnya terjadi
pengumpulan dan penyatuan gangliondan dari pasangan-pasangan gangflion dan dari
pasangan ganglion keluar saraf yang menuju ketepi. alat indra berupa sepasang
mata majemuk (faset) bertangkai yang
berkembang dengan baik (Kanna, 2002).
Hormon
dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar hormone,
yaitu hormon pertumbuhan, hormon reproduksi, hormon ekskresi &
osmoregulasi. Menurut hasil kelenjar hormon :
§ Endo hormon :
yang bekerja di dalam tubuh, seperti hormon-hormon di atas
§ Ekto hormon :
yang bekerja di luar tubuh, seperti fenomen : merangsang jenis kelamin lain
mendekat untuk berpijah.
Ekskresi
adalah sistem pembuangan proses metabolisme tubuh (berupa gas, cairan, dan
padatan) melalui ginjal, dan saluran pencernaan. Sistem Osmoregulasi : sistem
pengaturan keseimbangan tekanan osmotik cairan tubuh (air dan darah) dengan
tekanan osmotik habitat (perairan). Organ-organ dalam sistem ekskresi : saluran
pencernaan, dan ginjal. Organ-organ sistem osmoregulasi : ginjal, insang,
lapisan tipis mulut. Ginjal Fungsi Ginjal : menyaring sisa-sisa proses
metabolisme untuk dibuang, zat-zat yang diperlukan tubuh diedarkan lagi melalui
darah 1 dan mengatur kekentalan urin yang dibuang untuk menjaga keseimbangan
tekanan osmotik cairan tubuh (Kanna, 2002).
Tingkah
Laku dan Kebiasaan Kepiting Bakau, Secara umum tingkah laku dan kebiasaan
kepiting bakau yang dapat diamati adalah sbb : Suka berendam dalam lumpur dan
membuat lubang pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan
mengetahui kebiasaan ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat
pemeliharaan sedemikian rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara
sekecil mungkin. Kanibalisme dan saling menyerang, Sifat inilah yang paling
menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan
budidayanya. Karena sifatnya yang saling menyerang ini akan menyebabkan
kelulusan hidup rendah dan menurunkan produktivitas tambak. Sifat kanibalisme
ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya
monosex pada produksi kepiting akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik
(Kanna, 2002).
Molting
atau ganti kulit, Sebagaimana hewan jenis crustacea, maka kepiting juga
mempunyai sifat seperti crustacea yang lain, yaitu molting atau ganti kulit.
Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami pertumbuhan besar karapas
maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai
dari stadia instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, kepiting
memerlukan energi dan gerakan yang cukup kuat, maka bagi kepiting dewasa yang
mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas. Pertumbuhan kepiting
akan terlihat lebih pesat pada saat masih muda, hal ini berkaitan dengan frekuensi
pergantian kulit pada saat stadia awal tersebut. Periode dan tipe frekuensi
ganti kulit penting artinya dalam melakukan pola usaha budidaya yang terkait
dengan desain dan konstruksi wadah, tipe budidaya dan pengelolaanya (Kanna,
2002).
Menurut Nurdin dan Armando (2010) tahapan moulting pada crustasea yaitu sebagai
berikut :
§ Tahap I
Kepiting
memobilisasi dan menyerap cadangan material metabolis, seperti kalsium (Ca),
fosfor (P), dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode
antara pergantian kulit (intermolt akhir).
§ Tahap II
Pembentukan
cangkang baru dimulai, diiringi reabsorpsi atau penyerapan kembali material
organik dan anorganik dari cangkang lama selama periode persiapan (awal), ganti
kulit (premolt).
§ Tahap III
Kepiting
melepas cangkang lama dan mengabsorpsi air dari media eksternal dalam jumlah
besar. Pada tahap ini, ukuran badan kepiting bertambah.
§ Tahap IV
Pembentukan
dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang
berasal dari hemolimfa (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari
media eksternal) yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt).
§ Tahap V
Kepiting
mengalami homeostatis kalsium untuk menyeimbangkan kadar ion kalsium yang ada
dalam tubuh dengan lingkungan perairan. Selanjutnya, kepiting berada pada fase
intermolt atau pertumbuhan hingga ganti kulit berikutnya.
Kepekaan terhadap Polutan, Kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutuair. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi, selekasnya pindahkan kepiting ke tempat pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar. Beberapa sistem fisiologis diatas merupakan serangkaian proses-proses fisika dan kimiawi yang terjadi dalam tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) yang pada dasarnya menjadi proses vital dalam sistem pembangun tubuh organisme nokturnal ini (Catacutan, 2002).
Kepekaan terhadap Polutan, Kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya mutuair. Untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi, selekasnya pindahkan kepiting ke tempat pemeliharaan lain yang kondisi airnya masih segar. Beberapa sistem fisiologis diatas merupakan serangkaian proses-proses fisika dan kimiawi yang terjadi dalam tubuh kepiting bakau (Scylla serrata) yang pada dasarnya menjadi proses vital dalam sistem pembangun tubuh organisme nokturnal ini (Catacutan, 2002).
B. Permasalahan
Prospek pasar
kepiting Bakau (Scylla serrata)
dipasaran lokal dan mancanegara sangat menjanjikan, sehingga saat ini komoditas
kepiting Bakau (Scylla serrata)
menjadi tren di sektor penangkapan dan budidaya air payau, terlebih lagi
teknologi penangkapan dan budidaya kepiting Bakau (Scylla serrata) yang relatif mudah, membuat petambak beralih menangkap
yang kemudian membudidayakan komoditas ini. Akan tetapi terkadang hasil
tangkapan dari komoditas ini terlihat cacat (Ketidaklengkapan Organ) sehingga
sangat mempengaruhi harga jual sedangkan pada sektor budidaya masalah yang
terjadi juga terlihat identik dengan masalah yang terdapat pada sektor
penangkapan, dimana pada proses pemanenan dalam tahap akhir budidaya kepiting Bakau
(Scylla serrata), juga sebagian
terdapat hasil panen yang cacat bahkan mati dalam perjalanan proses molting,
sehingga sekarang ini menjadi masalah utama yang sering kali dialami oleh
pembudidaya, dimana kepiting Bakau (Scylla
serrata) yang dipanen tidak semuanya
mengalami pergantian kulit (moulting)
dengan sempurna melainkan terdapat hasil panen yang moulting tidak sempurna
(cacat) bahkan terdapat hasil panen kepiting Bakau (Scylla serrata) yang mengalami kematian.
C. Analisis Permasalahan
Permasalahan
diatas merupakan permasalahan yang terbilang akud khususnya pada komoditas
kepiting Bakau (S. serrata)
dikarenakan permasalahan tersebut al-hasil menjadi momok dalam kegiatan
penangkapan dan budidaya kepiting bakau oleh karena hal tersebut selalu saja
terjadi pada komoditas ini, berdasarkan kajian secara ilmiah fonemoma ketidak
sempurnaan organ kepiting bakau pasca molting secara hormonal (Sistem endokrin) kemungkinan disebabkan
oleh terhambatnya kerja hormon Gonado
Stimulating Hormon (GSH) oleh hormon Gonado
Inhibiting Hormon (GIH) sehingga hormon GSH yang berfungsi sebagai stimulan
dalam proses molting menjadi terhambat akibat kerja dari hormon GIH yang berada
pada organ kaki jalan dan capit sehingga untuk menonaktifkan dari kerja hormon GIH, perlu adanya treatment induksi
autotomi/teknik amputasi guna untuk mempercepat dan memperoleh kepiting bakau (Scylla serrata) yang molting sempurna
tanpa adanya satu organpun yang cacat. Selain itu ketidakmerataan supply energi
(kalori) melalui pakan juga menjadi
penyebab komoditas ini molting tidak sempurna oleh karena proses molting (ganti kulit) membutuhkan energi yang
cukup besar.
D. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas Kesimpulan yang menjadi rekomendasi mengenai ekofisiologi
kepiting bakau (Scylla serrata)
adalah sebagai berikut ;
1.
Ketidaksempurnaan dalam proses molting merupakan masalah
utama yang dihadapi nelayan penangkap kepiting bakau (S. serrata) dan pembudidaya kepiting bakau (S. serrata) oleh karena sangat mempengaruhi harga jual komoditas
terrsebut baik itu pada pangsa pasar lokal, domestik maupun mancanegara.
2.
Salah satu cara mencegah masalah tersebut berdasarkan
rujukan beberapa penelitian terkait adalah dengan pengaplikasian treatment teknik
induksi autotomi/teknik amputasi sebagai metode dalam mengefisienkan waktu dan
hasil molting komoditas kepiting bakau (S.
serrata).
3. Proses molting
pada dasarnya merupakan bentuk adaptasi fisiologi kepiting bakau (S. serrata) terhadap lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, R. dan M. Nurdin. 2010. Cara Cepat Panen
Kepiting Soka dan Kepiting Telur. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 24-27.
Afrianto, E Dan E. Liviawaty. 1992. Pemeliharaan Kepiting.
Kanisius.Yogyakarta.
Anonim, 2010. http://tambak.org. Budidaya Penggemukan Kepiting Bakau. Diakses September 2011.
Boer, 1993. Studi pendahuluan
Penyakit kunang-kunang pada larva kepiting Bakau (Scylla serrata), Journal
Penelitian Budidaya Pantai.
Catacutan. M. R. 2002.
Growth and body composition of juvenile mud crab. Scylla serrata. fed different dietary protein and lipid
levels and protein to energy ratio. Aquaculture. 208: 113-123.
Kasry. 1991. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas
. Penerbit PT. Bharata Niaga Media. Jakarta.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau Dan Biologi
Ringkas. Bharatara. Jakarta.
Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau Pembenihan dan
Pembesaran. Kanisius. Yogyakarta.
La Sara. 2000. Karakteristik Morfologi Dan Aspek Biologi
Kepiting Bakau (Scylla Spp) Di
Perairan Teluk Lawele Sulawesi Tenggara. Agripus, 28 (10).
Nybakken, A.J.,1992. BiologiLaut; Suatu Pendekatan
Ekologis (Terjemahan : M. Edman; D. Bengen; Koesobiono) PT. Gedia Pustaka.
Jakarta. hlm 20-25.
Sulaiman, 1994. Budidaya (Penggemukan dan Peneluran) Kepiting Bakau Scylla Serrata secara Intensif di
Kurungan Tancap dan Karamba Jaring Apung. Makalah Disampaikan pada Temu
Aplikasi Teknologi di Kendari. Sultra, Tanggal 10 - 12 Oktober 1994.
Toro, 1992. Siklus Hidup (Life Cycle) Kepiting Bakau Di perairan Lagua Cilacap Muara sungai
Cikaso. Sukabumi. Skripsi Fakultas Perikanan. IPB Bogor.
TELAH HADIR GAME SAKONG, HANYA DI DEWAJUDIQQ!!!
BalasHapuswww.DewaJudiQQ.com agen poker dan domino terbesar dan terpercaya di Indonesia.
Minimal Deposit Rp. 15.000
7 Game 1 Website : Poker, Domino99, AduQ, BandarQ, Bandar Poker, Capsa Susun, Bandar Sakong
Bonus Turnover 0.5% & Bonus Referral 20%
Pin BBM : 2AF2314F
WeChat : dewajudiqq
WhatsApp : +85593827763